Ditengah gencarnya upaya pemerintah dalam menggenjot peningkatan produksi tanaman pangan dengan program swasembada-nya, mereka seakan lupa bagaimana kondisi kesejahteraan petani tanaman pangan kita saat ini. Sang pejuang pangan yang identik dengan pekerjaan kumuh, kotor, dan berpenghasilan kecil masih kesulitan dalam mengatasi biaya produksi yang semakin hari semakin tinggi. Bantuan benih, subsidi pupuk dan alat mesin pertanian selama ini dirasa belum mampu mendongkrak pendapatan petani.
Permasalahan factual lainnya adalah kesulitan pemasaran hasil panen, dimana tinggi rendahnya harga gabah masih sangat tergantung dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak-tengkulak lokal maupun yang datang dari luar daerah.Penentuan patokan harga gabah oleh pemerintah nampaknya belum menjamin dapat mendongkrak pendapatan petani, mengingat petani lebih banyak berhubungan langsung dengan para penebas di lapangan.
Ada yang salah dengan
pembangunan pertanian negeri ini. Pembangunan hanya dimaknai sebagai
angka-angka pertumbuhan nilai tambah saktor pertanian yang terus meningkat,
tetapi tidak pernah “mencatat” peningkatan kesejahteraan petani. Pembangunan
pertanian seolah lupa dengan nasib petani yang sebagian besar terus bergumul
dengan kemiskinan. Padahal, bila ditelisik lebih dalam, produksi pangan
negeri ini sebetulnya ditopang oleh para petani kecil yang umumnya terkategori
miskin.
Pemerintah harus
sadar, kondisi ini tentu akan berdampak besar terhadap kemungkinan terjadinya
penurunan jumlah petani tanaman pangan, yang mulai beranggapan bahwa pekerjaan
mereka saat ini tidak bisa menopang kehidupan mereka.Salah satu bukti yang bisa kita lihat saat ini adalah keengganan generasi muda untuk menjadi petani. Mereka yang
bertahan sebagai petani saat ini adalah generasi tua. Itupun karena, tidak ada pilihan lain selain bertani. Pasalnya, mereka umumnya
berpendidikan rendah,bahkan tidak pernah
bersekolah dan tidak punya keahlian
lain selain bertani untuk bertahan hidup. Hal ini terkonfirmasi dari hasil
sensus pertanian 2013 yang di lakukan BPS yang menunjukkan bahwa sekitar 60 persen petani negeri ini berumur di
atas 45 tahun. Sekitar sepertiganya bahkan telah berumur di atas 55 tahun.
Secara faktual, dewasa ini para pemuda di pedesaan lebih bangga menjadi
tukang ojek atau merantau ke kota dan bergumul di sektor informal perkotaan
ketimbang bertani. Tidak bisa dipungkiri, dalam benak mereka menjadi petani itu
gak keren serta identik dengan kekumuhan, ketertinggalan, kebodohan, dan
kemiskinan. Setidaknya, itulah realitas yang mereka jumpai pada orang tua
mereka yang petani tulen.
Karena itu, pemerintah harus peka terhadap persoalan ini. Sektor
pertanian yang tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni sejatinya
adalah ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini.Barangkali, pekerjaan
rumah pemerintah saat ini, termasuk kita semua adalah bagaimana membuat sektor
pertanian khususnya pertanian tanaman pangan sebagai sesuatu yang menarik dan menjanjikan kesejahteraan. Bahwa
pilihan menjadi petani adalah sesuatu yang keren dan mulia.
Tks..bangga jadi petani
BalasHapus